Pukul 23.00, saya mulai membangunkan diri. Luar biasa dinginnyaaa. Saya mulai mengenakan pakaian berlapis-lapis, kayaknya ada 5 lapis deh. Makanan yang pas di kala dingin seperti ini pastinya indomie seleraku dong. Walaupun mie nya sudah agak melempem, saya sudah tidak peduli lagi. Yang terbayang adalah puncak Semeru 😀
Setelah makan dan mempersiapkan segala perlengkapan, pukul 23.30, kami mulai bergerak dari Kalimati. Kami berjalan bersama dengan rombongan cowok-cowok Unpar. Penting untuk diingat, kalau tongkat pendakian lumayan penting untuk mendaki Semeru. Kala itu, kami ngga punya, jadi hanya menggunakan batang pohon yang ditemukan di sekitar Kalimati. Rombongan Unpar pun mencari kayu tongkat terlebih dahulu, sehingga kami berjalan di depan mereka.
Dari Kalimati, kami berjalan menuju Arcopodo. Perjalanan ini cukup berat bagi saya. Tanjakannya jauh lebih parah daripada sebelumnya. Ditambah lagi dengan hawa dingin dan kegelapan yang mengelilingi saya. Aih, capek to the maxx. Saya berhenti beberapa kali sebelum bisa sampai ke Arcopodo. Jantung rasanya mau copot.. nafas pun rasanya diburu-buru.
Kurang lebih 1,5 jam perjalanan ke Arcopodo, kamipun sampai. Rasanya ingin menyerah saja. Terlalu berat buat badan yang rasanya sudah ringkih. Tapi, sudah sejauh ini dan menyerah? Tidak!
Lanjut lah kami mendaki Semeru.Memasuki medan pasir, sungguh terasa perjuangannya. Tanah pasir ini membuat langkah jadi terseret-seret, seakan mau mencegah kami cepat-cepat naik ke puncak. Penting untuk menggunakan sepatu yang oke, kali itu saya pake sepatu pinjeman dari sahabat saya yang cantik jelita dan baik hatinya, Ira. Kalau ngga, batu-batu kecil bisa masuk dan akan sangat menggangu perjalanan.
DI tengah jalan, rombongan kami terpisah. Hendy dan Bapak duluan, sedangkan saya dan Jury di belakang. Karena saya ngga sekuat 3 cowok lainnya, jadi kami berdua harus sering berhenti. DI perhentian itu, kami bisa menikmati langit malam Semeru yang luar biasa indah dipadu dengan pemandangan Bromo dan sebuah kota kecil dari kejauhan. Seandainya saja dinginnya tidak menusuk tulang, mungkin saya bisa betah terus berhenti. Tapi, berhenti lebih lama hanya akan memperparah kondisi kalau-kalau kami sampai terkena gejala hipothermia. Akhirnya, saya paksakan untuk terus melangkah di tengah dingin dan tiupan angin yang cukup kencang.
Tanpa terasa, jarak antara kelompok kami dengan kelompok Hendy makin jauh. Tadinya kami masih bisa melihat kerlipan senter dari mereka, tapi saat itu benar-benar tidak ada cahaya lagi dari atas. Begitupun dengan jarak rombongan anak-anak Unpar di bawah yang makin tidak terlihat. Saya mulai berteriak memanggil Hendy ke atas. Tidak ada jawaban. Saya pun berteriak ke bawah. Tidak ada jawaban juga. Kepanikan mulai menyergap saya: di mana semua orang? Kenapa tampaknya tidak ada tanda-tanda kehidupan?
Pikiran-pikiran aneh pun mulai menghinggapi. Bagaimana kalau kami tersesat? Bagaimana kalau kisah-kisah mistis pendakian gunung benar-benar terjadi saat ini? Perasaan saya kala itu kacau sekali: panik, takut, cemas bercampur jadi satu. Terkadang kami merasa sudah dekat dengan puncak, namun ternyata yang kami anggap puncak hanya cekungan biasa. Di manakah puncak sesungguhnya.
DI tengah semua perasaan itu, saya dan Jury tahu kalau kami harus tetap berjalan. Berhenti dan panik hanya akan memperparah keadaan. Kamipun terus berjalan sambil berhenti sesekali. Pukul 5 subuh, puncak sesungguhnya mulai terlihat. Dan.. ada Hendy dan Bapak di situ. Puji Tuhan! Kaki Hendy terluka parah karena dia hanya menggunakan sendal gunung biasa. Mungkin karena kesakitan itu, dia dan Bapak tidak mendengarkan teriakan kami dari bawah..
Akhirnya, kamipun menikmati puncak Mahameru! Pemandangannya memang indah.. tapi yang paling saya ingat adalah rasa puas telah menaklukkan puncak Mahameru. Impossible is nothing. If you can dream it, you can do it. Rasanya begitu banyak halangan yang bisa menghentikan saya sampai di sini, tapi ketika kita meletakkan tujuan itu 5cm di depan kening kita.. tujuan itu akan terus memacu kita berlari. Saya jadi teringat dengan banyak mimpi-mimpi yang saya ‘relakan’, karena merasa diri tidak mampu: takut sebelum berjuang. Ah, saya tidak boleh begitu lagi. Betapa saya meremehkan anugerah Tuhan dalam diri saya dengan membatasi diri!
Perjalanan ke Semeru ini menjadi salah satu perjalanan yang paling berkesan dan bermakna buat saya. Persiapannya lumayan lama, halangan dan rintangan datang silih berganti, tapi semuanya akhirnya bisa dilewati. Kalau dalam trip-trip sebelumnya, saya lebih banyak memanjakan diri, di sini saya perlu berjuang keras untuk bisa sampai ke puncak. That’s real life, isn’t it?
Sekitar pukul 07.00, kamipun mulai turun dari puncak. Perjalanan agak terhambat dikarenakan kaki Hendy yang lumayan parah. Perjalanan turun juga cukup melelahkan. Tongkat yang kami pakai sungguh sangat berguna, lebih tepatnya beralih fungsi menjadi tongkat selancar. Asik juga si berselancar ala Indonesia ini: ngebut turun Semeru 😀
Sesampainya di Arcopodo, akhirnya terjawab sudah kenapa kami tidak bertemu dengan rombongan anak-anak Unpar. Ternyata, di awal pendakian medan pasir, salah satu dari mereka terserang hipothermia. Akhirnya, teman-teman yang lain pun memutuskan untuk turun bersama-sama demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Salut untuk kerelaan dan kesetiakawanan mereka..
Karena saya masih mengejar untuk masuk kerja Senin esok hari, maka kamipun benar-benar ngebut kembali ke Ranu Pani. Bayangkan saja, perjalanan yang tadinya kami tempuh dalam 2 hari itu,jadinya harus kami tuntaskan dalam sehari saja. Cukup berat, belum lagi stamina kami sudah cukup terkuras. Dengan kaki yang rasanya suah hampir copot itu, kamipun teruuuus berjalan. Akhirnya, pukul 18.00 tepat, kami bisa sampai kembali di Ranu Pani untuk kembali ke Jakarta.
Terimakasih, Semeru 😉
– selitando –
falling in love with the mountain!
Comments