LIVE IT!

tidbits of my life

Baduy Dalam: An Ethnic Runaway to Mother Nature

papan tugu di jalan masuk ke perkampungan Baduy

Buyut nu dititipkeun ka puun nagara satelung puluh telu bangawan sawidak lima pancer salawe nagara gunung teu meunang dilebur lebak teu meunang dirusak larangan teu meunang dirempak buyut teumenang dirobah lojor teu meunang dipotong pondok teu meunang disambung nu lain kudu dilainkeun nu ulah kudu diulahkeun nu enya kudu dienyakeun

Indah bukan peribahasa Baduy tersebut? Artinya apa? Jangan tanya saya, karena kuliah di Bandung tidak banyak membantu saya dalam mempelajari bahasa Sunda. Yap, kali ini saya berkesempatan untuk berkunjung ke perkampungan suku Baduy Dalam di daerah Banten sana. Ini merupakan pengalaman pertama saya berkunjung ke suku terasing. Kali ini saya bersama dengan beberapa teman dari perjalanan ke Tidung sebelumnya, tapi tidak semuanya. Ada Febi, Ka Wulan, dan Chynthia yang belum pernah gabung sama sekali dengan teman-teman BAT.

di Stasiun Beos

Kami berkumpul di Stasiun Beos pada pukul 7 pagi. Pukul 8 pagi kereta berangkat ke arah Rangkasbitung. Bersepuluh kami pun menyusuri perjalanan ini. Kereta yang dinaiki ini luar biasa banget, karena lebih mirip pasar berjalan daripada kereta. Bagaimana tidak, para penjual lalu-lalang menjajakan dagangannya, para pengamen datang dengan suara-suara ‘luar biasa’ bergantian menghibur kami. Kereta ini juga ada unsur rumah hantunya.. jangan kaget ketika ada ‘suster ngesot’ yang tetiba mencolek untuk minta gopean atas jasanya membersihkan lantai kereta. Pokoknya, bepergian sendirian dengan kereta ini amata sangata tidak saya rekomendasikan. Kalau ada temen si lumayan.. masi bisa bercanda dan saling mengawasi datu sama lain dong 😀

Ka Wulan yang sedang tidur di tengah pasar berjalan

Setelah 3 jam naik pasar berjalan, kamipun sampai di Stasiun Rangkasbitung sekitar pukul 11 siang. Sebuah mobil seukuran elf sudah dicarter untuk mengantarkan kami ke ‘dekat’ perkampungan Baduy. Perjalanan akan memakan waktu sekitar sejam, jadi kami makan siang terlebih dahulu sembari membeli bahan-bahan makanan yang akan dikonsumsi di sana nantinya. Jam 12 siang, kami sudah selesai makan dan berbelanja, perjalanan pun dilanjutkan. Sejam kemudian kami sampai di sebuah tempat di mana teman-teman Baduy sudah menanti kami. Mereka berempat lah yang akan mengantar kami ke perkampungannya. Saya cukup heran karena sebenarnya mobil masih bisa berjalan beberapa ratus meter lagi, tapi kami sudah harus turun. Well, i didn’t know yet..

orang-orang Baduy yang sudah menunggu

Bahan makanan yang kami beli kemudian dibawa oleh orang-orang Baduy itu. Meraka tidak mengenakan alas kaki dan tenaganya cukup besar membawa barang-barang kami. Karena waktu itu pukul 1 siang, matahari bersinar cukup terik. Perjalanan masuk ke dalam memakan waktu 2 jam! 2 jam berjalan kaki naik gunung turun lembah. Kami semua sudah mandi keringat, tapi mereka masih santai-santai saja. Tiap ditanya sudah dekatkah kami ke tempat tujuan, mereka selalu menjawab sudah dekat. Padahaal.. alamak jauhnyaaa.

berfoto sejenak sebelum masuk ke Baduy Dalam

Beberapa gambar sempat kami ambil sebelum memasuki wilayah Baduy Dalam. Sebelumnya kami sudah dberitahu bahwa kami tidak diperbolehkan mengambil gambar atau mengenakan produk-produk wewangian dan kimia di Baduy Dalam. Sekitar pukul 3, kami sampai di Badut Dalam. Fiuuuuh akhirnyaaaaa. Kamipun menikmati kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya. Para lelaki kemudian sibuk mempersiapkan makan malam. Cukup lucu melihat mereka memasak bahan makanan yang kami bawa, seperti beras, sarden, telur, kornet, dan mie instan. Karena tidak pernah memasak bahan-bahan itu, yah jadilah makan malam kami rasanya agak-agak ajaib. Still, saya santap dengan lahap karena kelaparan 😀

Kehidupan di Baduy Dalam tampak begitu sederhana. Terdapat 3 kampung yang ditinggal suku Baduy Dalam. Satu kampung berisi 80-90 kepala keluarga dengan 500-600 penghuni. Rumah-rumahnya terbuat dari bambu dan daun sagu. Terdapat alun-alun tempat anak-anak bermain di tengah kampung. Di siang hari, kampung akan sepi karena orang tua dan anak lelaki yang sudah cukup dewasa berangkat ke ladang. Yang tinggal adalah anak-anak perempuan yang menjaga adiknya dan anak-anak lelaki yang masih terlalu kecil untuk memegang golok. Sungguh nampak bahwa orang-orang di sini begitu menyatu dengan alam dan adat istiadatnya. Mereka tidak memeluk agama apapun, tapi memiliki sistem kepercayaannya sendiri. Ada Puun yang merupakan tetua adat dalam sebuah kampung. Mendekat ke rumah Puun pun kami tidak diperbolehkan, karena Puun hanya boleh ditemui dalam kesempatan atau keperluan tertentu.

rumah Sang Puun dari kejauhan

Orang-orang di sini juga tidak menggunakan jam atau kalender sebagai penanda waktu. Segala sesuatu diperkirakan sendiri. Waktu menanam, waktu panen, waktu berpindah ladang, dan lain sebagainya ditentukan oleh adat. Ketika saya banyak bertanya kapan ini dan kapan itu, jawaban yang mereka berikan adalah: pada waktunya. Tak terkecuali dengan kehidupan perjodohan mereka. Pria dan wanita di tempat ini sudah mulai dinikahkan pada usia 13 tahun dengan dijodohkan oleh orang tuanya. Tak ada yang memilih jodohnya sendiri, namun perceraian dan poligami juga tidak dibenarkan. Yang tidak mau mengikuti adat, harus keluar dari Baduy Dalam. Tak ada waktu dan energi yang terbuang untuk sekedar galau merisaukan jodoh yang tak kunjung datang. Hehe. Begitulah kehidupan di sini berjalan dengan dinamis. Tak ada yang terburu-buru atau menunda-nunda. Semua terjadi pada waktuNya.

Pada malah hari, hanya ada lilin, pelita, dan bintang (the starts here are awesome!) sebagai sumber penerangan. Tak ada televisi atau hiburan lain di malam hari. Kami justru menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang, bercanda dengan mereka, sambil menikmati bubur kacang hijau hangat. Tak ada jam tangan, ponsel, televisi, ataupun internet untuk membunuh waktu. Waktu tak dibunuh di sini.. ia mengalir bersama gelak tawa dan obrolan renyah  ditemani cemilan khas Baduy Dalam: asem kranji. Here are the pictures.. some of them are taken hiddenly :p

This slideshow requires JavaScript.

Mandi dan buang air menerbitkan masalah tersendiri buat kami-kami para wanita. Bagaimana tidak, keduanya harus dilakukan di sungai yang berbeda.. awalnya masih malu-malu ketika harus melakukannya di sungai, tapi lama-lama ya cuek aja. Ngga ada yang ngeliat ini kok. Kami hanya ditemani seorang gadis Baduy yang kulitnya bagus banget. Putih bersih tanpa jerawat. Dan dia tidak pernah make sabun dan sejenisnya. Hanya batu, air, dan daun saja yang diperlukannya. Iri!

para ‘bidadari’ sedang mandi di sungai

Satu hal yang saya amati di sini, pria-prianya sangat gentlemen. They really do. Sewaktu menemani kami di perjalanan, mereka menolong kami para wanita yang jalan saja sudah susah. Mereka juga membawakan barang-barang dan menunggui ketika ada yang harus istirahat terlebih dahulu karena kelelahan. Cowok-cowok modern di kota-kota mungkin harus ke Baduy dulu yah buat tau apa artinya jadi gentlemen :p

Beberapa orang Baduy ada yang berencana untuk datang ke Jakarta karena salah satu teman kami yang akan menikah bulan depan, sekaligus mengantarkan tas hasil kerajinan tangan yang dipesan oleh Febi dan Cynthia. Sebenarnya, mereka bahkan sudah beberapa kali datang ke Jakarta.. dengan berjalan kaki. Yes, orang baduy tidak diperbolehkan memakai alas kaki, menggunakan alat transportasi, atau meninggalkan pulau ini. Semua harus dijalani dengan kaki. Bare foot. Ngga heran kaki mereka tampak seperti jempol semua dan betisnya juga berotot semua. Ah, semoga bulan depan bisa ketemu mereka lagi 😀

salah satu hasil kerajinan tangan suku Baduy.. hanya seharga 100rb saja!

Kurang lebih 2 hari 1 malam pun kami habiskan di sana. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Biaya yang dihabiskan adalah 200rb, sudah termasuk tiket kereta, elf, dan makanan selama di sana. Siapkan juga uang untuk beli oleh-oleh di sana.. karena oleh-olehnya bagus-bagus lho. Bulan November nanti kabarnya ada musim duren di sana, dan beberapa teman-teman berencana ke sana lagi. Anyone?

Oh, and here is the translation of Sundanese words at the beginning of this writing. Local wisdom never dies..

Buyut yang dititipkan kapada puun negara

tigapuluhtiga sungai

enampuluhlima pusat

duapuluhlima negara

gunung tak boleh dihancurkan

lembah tak boleh dirusak

larangan tak boleh dilanggar

buyut tak boleh diubah

panjang tak boleh dipotong

pendek tak boleh disambung

yang bukan harus ditiadakan

yang jangan harus dinafikan

yang benar harus dibenarkan.

3 comments on “Baduy Dalam: An Ethnic Runaway to Mother Nature

  1. meliza766hi
    September 19, 2012

    Mauu ke baduy 😀

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Information

This entry was posted on September 19, 2012 by in journey and tagged , , , .
%d bloggers like this: