Jadi, apa kabar dengan pernikahan? Dua bulanan ini, saya sedang beradaptasi dengan lingkungan baru, lingkungan di mana saya sudah menikah dengan seorang pria yang tentunya *ehem* saya cintai. Karena kita masih long-distance-marriage, jadi saya berasa jadi istrinya cuma seminggu dalam sebulan aja hihihi. Selain hal-hal baru yang kita temui berdua, respon orang-orang juga kadang bikin cengar-cengir. Misalnya dalam kondisi ini.
A : “Akhirnya nikah juga ya. Nyesel kan pasti?”
B : “Nyesel?”
A: “Iya, pasti nyesel kan kenapa ngga dari dulu..”
B : “…”
Kemungkinan, yang dirujuk dalam poin pembicaraan di atas adalah tentang seks. Yeah, as if marriage is only about the sex haha. Buat saya, ngga ada tuh kata menyesal karena nikahnya baru sekarang. Everything has its time, ada waktu buat single, ada waktu buat double, triple, etc. The point is, you enjoy every season and occasion in your life. I won’t trade my single time only to marry sooner even if I had the chance. Lebih kasiannya lagi adalah percakapan ini sering dilakukan di depan orang-orang yang belum menikah. Only to bully them for their choices. Come on, people.
Buat saya, menikah itu adalah sebuah fase yang sifatnya optional dalam hidup. You can get it OR not. Kalau ada orang yang memilih untuk tidak menikah atau memang jalannya demikian, tidak perlu mengintimidasi atau bahkan merasa kasihan kepada mereka. Siapa yang tahu, bisa saja hidup mereka jauh lebih bahagia daripada kita-kita yang menikah ini. So, please, stop judging because it’s just intimidating.
Buat saya, hidup pun ngga jadi serta merta indah bagaikan fairy tale once we are married. Orang bilang, menikah itu ada rejekinya sendiri. Orang yang bilang lho ya, bukan saya. Kalau menurut saya sih, memang ada rejekinya sendiri.. tapi ada susahnya sendiri juga. Tidak perlulah terlalu mendewa-dewakan pernikahan, seakan-akan menikah akan menyelesaikan seluruh persoalan hidup. Don’t be too naive when you talk about marriage. Do not talk as if every problem is gonna be adressed when you are married.. because in some cases, they don’t.
Do I talk like I am an unhappy newly-wed? Mungkin sih. But, I can tell you, I’m still happy.. enjoying the transition and all of its twists. Saya dan suami menikah tidak dalam kondisi terbaik kami, jadi sedari awal saya memang tidak membayangkan kehidupan pernikahan yang serba mudah, serba ada, dan serba serbi indah lainnya. Everyday has its story: sometimes we could talk like lovers, the other time we could argue over little things.. just like my favourite “The Notebook” scene below.
So it’s not gonna be easy. It’s going to be really hard; we’re gonna have to work at this everyday, but I want to do that because I want you. I want all of you, forever, everyday. You and me… everyday.
Kami tentunya punya masalah masing-masing. Married means you doubled, not only added, the problems. Kadang-kadang cape juga kalau harus mikirin semua masalah itu. Habis marah, ngomel, diem-dieman, akhirnya kami malah sering tertawa sendiri dan kemudian justru menjadikan masa-masa marahan itu sebagai bahan becandaan. A good sense of humour is a mandatory for a couple, only to make our head a bit lighter before back to the real world 😉
So, back to my point. Saya tahu, kita pasti ingin melihat orang-orang sekitar kita bahagia. Mungkin kita berpikir menikah akan membuat mereka bahagia. Tidak ada yang salah dengan itu. All we can do is just tell them the truth. Mungkin akan ada cerita-cerita yang membuat mereka menjadi cemas dan takut sesaat, mungkin juga lebih banyak cerita yang akan membuat mereka semakin yakin dengan keputusan yang diambil. Pada akhirnya, mereka akan lebih bersyukur telah mengambil keputusan itu dengan penuh kesadaran akan segala konsekuensinya. Kita pun akan merasa bersyukur juga ketika mengenang masa-masa ‘galau’ sebelum pernikahan itu, bukan?
*Celoteh ngga jelas ini dibuat oleh seorang wanita yang baru menikah kurang lebih 2 bulanan, jadi bisa saja ngga valid. Bukan bermaksud apa-apa, hanya jengah saja melihat orang-orang sekitar yang membuat pernikahan jadi seperti ilusi indah belaka*
Comments