Pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, saya merasa kota ini cukup panas. Tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Sesampainya di terminal Terboyo, kami langsung naik taksi ke wisma yang sudah dipesan dengan bantuan adek PA tercinta, Yohanna, dengan menggunakan taksi. Wisma kecil itu bernama Wisma Handayani. Lokasinya di daerah pecinan, sehingga aroma-aroma bulan puasa tidak begitu terasa di tempat ini. Kami menyewa 2 kamar untuk sehari semalam di sana. Harga per kamarnya cukup murah, hanya 80k saja, dengan tv, ac, dan ekstra bed di dalamnya. Kamar mandinya juga bersih, sehingga saya yang malas mandipun tergerak untuk mandi. Lokasi juga cukup strategis.. kami bisa ke banyak tujuan hanya dengan jalan kaki sebentar untuk mencari angkot.
Jam 10 pagi kami keluar dari wisma untuk berjalan-jalan ke klenteng Sam Poo Kong. Tapi, di tengah jalan, kami melihat ada klenteng lain yang juga cukup ramai, Tay Kak Sie. Katanya, hari itu bertepatan dengan perayaan 100 tahun datangnya Laksamana Cheng Ho ke Indonesia, sehingga tiap klenteng pun datang untuk ‘bersilaturahmi’ ke Sam Po Kong. Termasuk Tay Kak Sie. Kedatangan tiap klenteng berarti juga membawa dewa-dewi klenteng tersebut, dengan diarak oleh liong dari berbagai klenteng juga. Rame deh pokoknya. Untuk perayaan itu, dibuat sebuah replika perahu besar tempat kami berfoto-foto. Oh, dan ada ada sebuah patung baru dari Tiongkok sana di depan Tay Kak Sie. Konon katanya patung itu beratnya 15 ton. Woww.
Sehabis terdistraksi sebentar di Tay Kak Sie, kami pun melanjutkan perjalanan ke Sam Po Kong dengan naik taksi. Mungkin karena Semarang kota yang tidak begitu besar, saya merasa supir taksinya kecil kemungkinan ‘menipu’ kami. Kayaknya jalannya ya itu-itu aja jalurnya.. Nah, karena ada perayaan tersebut di atas, maka masuk Sam Po Kong pun gratis. Alhamdullilah yaa sesuatu banget. Klenteng yang satu ini memang besar dan cukup ramai. Seperti yang kita ketahui Laksamana Cheng Ho beragama Islam, tapi dia bahkan disembah di klenteng-klenteng. Betapa asimilasi budaya mampu mempersatukan orang-orang yang memiliki agama dan kepercayaan berbeda untuk dapat hidup berdampingan dengan damai.
Saya ingat sewaktu kecil sering dibawa ke klenteng oleh oma saya. Karena itu, aroma dupa menjadi salah satu aroma yang saya sukai sejak kecil. Saudara opa saya bekerja di klenteng malah, jadi beliau sering membawakan kami makanan-makanan sembahyangan. Perjalanan ke klenteng ini menjadi sebuah napak tilas buat saya kembali ke masa lalu. Berada di antara orang-orang dengan wajah ‘serupa’, mendengarkan alunan gong yang bertalu-talu, liong yang meloncat lincah kesana-kemari, melihat orang-orang yang bersembahyang dengan khusyuk.. mengingatkan saya akan separuh diri saya. Saya rasa itulah bagian dari seni bertualang : menemukan potongan-potongan diri yang ternyata ada di tempat yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya untuk kemudian menemukan menemukan diri seutuhnya 🙂
Puas berkeliling di Sam Po Kong, kami melanjutkan perjalanan ke Lawang Sewu yang ternyata tidak begitu jauh dari situ. DI Lawang Sewu ini, kami dikenakan biaya 90k untuk 6 orang dengan ditemani seorang guide. Cukup besar juga ternyata Lawang Sewu ini. Sebelumnya, Lawang Sewu merupakan kantor pusat perusahaan kereta api di zaman Belanda. Arsitekturnya pun mirip dengan kereta api, dengan pintu dan jendela yang berderet-deret. Konon kata si bapak guide, tempat ini sudah menjadi juara tempat angker se-Asia Tenggara. Well, yang penting juara lah yaa.. hehe. Aroma horror paling terasa ketika mendekati terowongan bawah tanah tempat penyiksaan dengan penjara jongkok dan penjara duduk. Tempat itu gelap, lembab, dan cukup rendah langit-langitnya. Benar-benar menyiksa.
Walaupun berkesan angker, orang-orang juga sering memanfaatkan kesan klasik dari tempat ini untuk melakukan pemotretan pre-wedding. Waktu itu ada sepasang calon suami-istri juga yang sedang pemotretan. 2 pasangan yang sedang bersama-sama dengan saya pun tidak mau kalah dan berlomba-lomba mencari spot yang cocok untuk pemotretan. Dan karena saya tidak bawa pacar, ya udah lah yaa pasrah aja menikmati pemandangan di sekitar Lawang Sewu dan mengobrol mesra *eh* dengan si bapak guide 😀
Pulang dari Lawang Sewu, kamipun kembali lewat di Tay Kak Sie. Klenteng ini lebih ramai ternyata dibandingkan denan paginya, dikarenakan masing-masing liong dari klenteng lain harus bermain dan masuk ke klenteng Tay Kak Sie untuk memberi ‘penghormatan’ kepada dewa dewi di dalamnya. Kembali saya melihat toleransi yang besar untuk umat beragama lain ketika pengurus Tay Kak SIe meminta liong-liong yang akan pulang agar tidak membunyikan alat musik mereka, mengingat waktu itu sudah menjelang maghrib.
Hari itu diakhiri dengan makan malam di dekat wisma kami. Kami pun bertekad dari malamnya untuk menyempatkan diri mencoba lunpia Gg. Lombok dekat Tay Kak Sie yang cukup terkenal. Di papannya sih buka jam 9 pagi, tapi ternyata ketika kami keluar pukul setengah 9, dia udah buka! Hore! Lumpianya mantep deh.. apalagi yang goreng. Krenyes krenyes, isi, dan bumbu bawang putihnya berpadu sempurna. Harganya 10k per bijinya. Saya sampai makan 2 porsi lho.. kenyaang 😀
Dan demikianlah perjalanan kami di kota Semarang.. kota yang cukup ‘seksi’ buat saya. Hehe. Perjalanan pun akan dilanjutkan ke kota Jepara, tempat kami bakalan menyeberang ke Karimun Jawa. See ya 😀
Comments